Bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi negeri masih menjadi mimpi
banyak orang di Indonesia. Salah satunya Tya Nur Istiqomah (20), siswi
SMAN 1 Merlung, Jambi.
Untuk mendapat secarik formulir Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), gadis yang sering disapa Tya itu harus rela menjadi pembantu rumah tangga.
Tya rupanya sudah terbiasa bersusah payah untuk mendapatkan pendidikan. Sejak SMP sampai SMA, dia harus menumpang truk untuk bisa bersekolah yang jauhnya hingga 8 kilometer.
"Dulu SMP SMA harus bisa semua naik ke atas truk jam 6 pagi. Nanti kalau di tengah jalan kehujanan kita harus plastikin sepatu kita. Sudah sampai sekolah pasti banyak yang ejek karena kita kebasahan," cerita Tya di gathering Tanoto Foundation di desa Batu Layang,
Cisarua, Senin (19/8).
Tya tidak bisa protes atau meminta fasilitas sekolah dengan mudah kepada orangtuanya. Sebab bapak-ibunya hanya bekerja sebagai petani kelapa sawit. Situasi semakin pelik ketika ayah Tya berhenti bekerja. Tya yang kebingungan kemudian memantapkan hati untuk tetap maju ke perguruan tinggi.
"Bapak paham saya bilang mau kuliah. Saya harus bisa masuk. Saya lalu jadi pembantu rumah tangga buat beli formulir," kata Tya.
Selama tiga bulan, Tya bekerja menjadi pembantu di rumah asisten perusahaan bekas ayahnya bekerja. Dengan gaji Rp 600 ribu per bulan, dia berhasil membeli formulir SNMPTN. Sayangnya, saat ujian dia tidak lolos.
Untuk mendapat secarik formulir Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), gadis yang sering disapa Tya itu harus rela menjadi pembantu rumah tangga.
Tya rupanya sudah terbiasa bersusah payah untuk mendapatkan pendidikan. Sejak SMP sampai SMA, dia harus menumpang truk untuk bisa bersekolah yang jauhnya hingga 8 kilometer.
"Dulu SMP SMA harus bisa semua naik ke atas truk jam 6 pagi. Nanti kalau di tengah jalan kehujanan kita harus plastikin sepatu kita. Sudah sampai sekolah pasti banyak yang ejek karena kita kebasahan," cerita Tya di gathering Tanoto Foundation di desa Batu Layang,
Cisarua, Senin (19/8).
Tya tidak bisa protes atau meminta fasilitas sekolah dengan mudah kepada orangtuanya. Sebab bapak-ibunya hanya bekerja sebagai petani kelapa sawit. Situasi semakin pelik ketika ayah Tya berhenti bekerja. Tya yang kebingungan kemudian memantapkan hati untuk tetap maju ke perguruan tinggi.
"Bapak paham saya bilang mau kuliah. Saya harus bisa masuk. Saya lalu jadi pembantu rumah tangga buat beli formulir," kata Tya.
Selama tiga bulan, Tya bekerja menjadi pembantu di rumah asisten perusahaan bekas ayahnya bekerja. Dengan gaji Rp 600 ribu per bulan, dia berhasil membeli formulir SNMPTN. Sayangnya, saat ujian dia tidak lolos.
Tidak patah arang, Tya kemudian mencoba lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) Universitas Jambi jurusan Agroteknologi. Lewat seleksi ini, Tya akhirnya berhasil lulus menjadi mahasiswa di sana.
Menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, tak membuat Tya lepas dari persoalan uang kuliah.
"Saya ambil beasiswa Tanoto Foundation untuk jalur regional. Di Provinsi Jambi cuma empat orang yang terpilih dari 100 pendaftar. Salah satunya saya," kata Tya bangga.
Tya amat bersyukur atas beasiswa yang diberikan Tanoto Foundation kepadanya. Dia berhasil membuktikan pada semua, termasuk orangtuanya bahwa dia berhasil masuk universitas dengan kesungguhan yang dia punya. Tya pun merapalkan pesan disampaikan ibunya.
0 komentar:
Posting Komentar